Mencari Ruang Kebebasan dalam Pendidikan

Bias Baihaki
6 min readDec 13, 2020

--

Sumber foto: Olha Khorimarko/University Affairs

Dalam berbagai kontemplasi hidup yang saya jalani, saya kerap bertanya pada diri sendiri tentang relevansi pendidikan yang pernah saya tempuh dengan kehidupan saya pribadi di masa yang akan datang. Saya selalu berpikir tentang kebebasan dengan batas-batas yang saya tentukan sendiri. Sialnya, saya merasa bahwa diri saya terlalu didikte oleh paradigma pendidikan yang berlaku di Indonesia. Saya tidak terlalu paham apakah hal demikian juga dirasakan teman-teman saya di luar sana, akan tetapi saya pikir diskursus kebebasan dalam dunia pendidikan merupakan isu yang menarik untuk ditelusuri lebih dalam.

Terlepas dari relevansi kontekstual, menurut saya pendidikan ialah tentang kebebasan. Seseorang yang menempuh pendidikan telah seyogianya mengidentifikasi diri mereka sebagai manusia yang bebas. Bebas berpikir, berekspresi, mengemukakan pendapat, dan dapat mengaktualisasikan diri mereka sesuai dengan kemampuan. Menurut Allen (1937), pendidikan dalam iklim demokrasi harus menyesuaikan pada identitas lokal dan kemampuan individu. Penyesuaian pun juga menyinggung pada ranah keterbukaan terhadap ide-ide baru, metodologi, hingga toleransi akan kebebasan berpikir.

Sistem pendidikan yang direbus oleh negara — terkait dengan paradigma pembangunan pendidikan melalui berbagai kebijakan — telah menciptakan sebuah hegemoni struktural dimana melibatkan peran institusi pendidikan dan tenaga didik (Laksana, 2020). Persoalannya, tidak semua orang dapat menikmati hasil rebusan tersebut, sehingga makna ‘kebebasan’ menjadi bias karena tidak bersifat universal. Belum lagi, orientasi pendidikan yang dicanangkan melalui pernyataan kebijakan kerap tidak selaras dengan apa yang direkognisi oleh subjek terpenting dalam pendidikan, yakni pelajar.

Inklusivitas dalam dunia pendidikan juga menjadi perhatian fundamental dalam menciptakan keselarasan hak. Poin yang selalu dikejar dalam dunia pendidikan adalah bagaimana setiap orang memiliki hak yang sama dalam memiliki akses pendidikan. Berdasarkan Universal Declaration of Human Right, dapat dimaknai bahwa negara memiliki kewajiban untuk dapat menghormati, menjaga, dan memberikan hak pendidikan kepada setiap insan meliputi diskursus pendidikan sebagai sarana publik (Singh, 2015). Melalui pernyataan tersebut, maka diskursus hak menjadi sangat kompleks karena penyediaan ruang pendidikan untuk ‘semua’ juga menjadi perhatian penting selain persoalan hak yang biasa terjadi di dalam ruang-ruang kelas.

Walau demikian, saya berpikir bahwa kontekstualisasi kebebasan di dalam ruang kelas-kelas patut dipertimbangkan sebagai sebuah permasalahan lapangan tingkat mikro. Hal tersebut menjadi penting karena berkenaan langsung dengan tenaga pendidik dan juga pelajar yang mengalami dinamika pendidikan secara langsung. Kebebasan pelajar seringkali terkekang karena aturan-aturan absolut yang diterapkan institusi pendidikan melalui kebijakan turunan dari pusat. Begitu pula dengan tenaga pendidik yang berusaha untuk tetap memberikan pelayanan berdasarkan pakem-pakem yang telah ditentukan oleh kebijakan. Selain itu, institusi pendidikan pun tidak dapat mengintervensi kebijakan karena hanya diatasnamakan sebagai sebuah medium pendidikan.

Kebebasan dalam dunia pendidikan menjadi persoalan menarik untuk saya kupas karena apabila kita menilik persoalan di lapangan banyak para pelajar yang tidak dapat mengeksplorasi diri mereka secara leluasa. Payung kebijakan yang sarat akan orientasi tunggal membuat pemaknaan pendidikan pun terkesan tunggal pula. Di Indonesia, orientasi pendidikan oleh negara kerap dimaknai sebagai media penghantar untuk menghasilkan subjek-subjek potensial dalam bidang industri. Hal ini tentu banyak pertentangan dari berbagai pihak yang menganggap pendidikan ialah sebagai ruang interaksi akademis, bukan hanya sebagai produk yang nantinya didistribusikan pada rumah-rumah kapitalis.

Kemudian, apabila kita menarik lebih dalam, persoalan kebebasan dalam dunia pendidikan ini juga terkait dengan kapasitas seorang pelajar. Pelajar ialah manusia dan manusia memiliki preferensi yang berbeda-beda. Mungkin akan terdengar membosankan, namun pepatah populer Albert Einstein terkait “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid”, akan terasa semakin relevan ketika kita menyadari bahwa tidak ada improvisasi yang berarti dalam progresivitas dunia pendidikan.

Apabila saya boleh menginterpretasikan wajah para pelajar, maka saya akan berasumsi bahwa hanya pelajaran olahraga dan seni dimana pelajar dapat lebih bebas mengekspresikan dirinya, terlepas dari kapabilitas yang masing-masing mereka miliki. Saya kembali berpendapat bahwa mungkin saja hal ini dikarenakan dalam pelajaran tersebut praktik lebih penting dibanding teori. Berbeda dengan pelajaran teoritis seperti matematika, fisika, sejarah, geografi, dan lain sebagainya yang secara terus-menerus dipaksakan untuk berbicara mengenai konsep, hingga pada suatu titik mungkin kita akan bertanya, “pelajaran-pelajaran ini untuk apa saya pelajari? Toh, penerapannya juga sangat minim”. Saya pikir apabila konteksnya semacam ini, dengan berani saya katakan bahwa hal tersebut bukanlah kesalahan pelajar, melainkan karena nihilnya perubahan konkret sistem pendidikan di Indonesia, walaupun kurikulum pendidikan telah beberapa kali mengalami perombakan.

Sebuah konsep menarik yang ditawarkan dalam menyiasati stagnasi progresivitas pendidikan di Indonesia. Ialah desentralisasi pendidikan yang ditujukan sebagai penyerahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam mengembangkan kualitas pendidikan (Bjork, 2006). Ide desentralisasi ini muncul pasca Orde Baru melalui UU №22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Penyerahan kewenangan ini secara konsep juga berimbas pada kewenangan dalam mengarahkan nasib di bidang pendidikan. Harapan dari diberlakukannya desentralisasi pendidikan ini adalah agar setiap daerah dapat secara langsung terkoneksi dengan institusi pendidikan, sehingga Pemerintah Daerah dapat mengontrol sistem kinerja bidang pendidikan di daerahnya.

Namun, penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia tidak terimplementasikan dengan baik karena kegamangan terkait penyesuaian (Bjork, 2004; Pasandaran, 2004). Hal tersebut dapat dipahami karena konsepsi desentralisasi dimaknai dengan semangat lokalitas yang mana setiap daerah memiliki ketahanan dan kerentanan masing-masing terkait jati diri. Desentralisasi tidak difokuskan kepada pengembangan berbasis kebutuhan dari para pelajar. Konsep desentralisasi ini justru pada akhirnya membebankan pada personalitas tenaga didik sebagai penyambung konsep dan implementasi langsung.

Kemudian, isu politis pun juga menyusup dalam isu desentralisasi pendidikan ini. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Kristiansen dan Pratikno (2006) yang mengatakan bahwa isu transparansi dan akuntabilitas dalam pengeluaran anggaran pemerintah untuk pendidikan terlihat buruk. Selain itu, persoalan birokrasi lembaga pendidikan juga masih mewariskan nilai-nilai yang ditinggalkan era Orde Baru (Rosser, 2018). Hal tersebut mencerminkan bahwa dominasi politik memengaruhi pergerakan kebijakan.

Mengenai narasi desentralisasi pendidikan, saya selalu merasa bahwa kebijakan ini hanya terhenti pada konsep dan perancangan. Pada kenyataannya, implementasi desentralisasi berjalan bak tanpa arah karena hanya dikonsepsikan sebagai retorika lokalitas dan tidak sepenuhnya dicanangkan atas dasar problematika akar rumput pendidikan di masing-masing daerah. Mengapa demikian? Karena secara fundamental, konsep pendidikan daerah satu dengan daerah lainnya terkesan serupa. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya intervensi konkret Pemerintah Daerah terhadap kebijakan dasar-dasar pendidikan — salah satunya mungkin terkait kurikulum — karena wewenang tersebut berada di tangan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini, tentu kontekstualisasi menjadi sebuah pertanyaan. Apakah desentralisasi pendidikan ini benar-benar bertujuan untuk merekonstruksi pendidikan atau hanya dijadikan alat hegemoni kekuasaan dalam menunjukan semangat kedaerahan?

Kembali berbicara mengenai kebebasan, dalam desentralisasi pendidikan pun juga tidak ditekankan pada kebijakan yang menekankan pada perubahan iklim pendidikan yang berpusat pada orientasi pelajar. Orde Baru telah runtuh, kebijakan desentralisasi dimainkan, tetapi logika pendidikan tetap sama, ruang-ruang kelas masih dijadikan sasana bernuansa kompetitif. Hingga saat ini, aksesibilitas minat masih menjadi sesuatu yang relevan untuk dipertanyakan terkait inklusivitas orientasi dari tiap-tiap individu. Desentralisasi pendidikan yang diharapkan menjadi teropong persoalan pendidikan, pada realitanya memang hanya sekadar meneropong tanpa ada tindakan konkret terkait dengan konformitas pelaku pendidikan.

Secara garis besar, pembenahan sistem pendidikan sudah sepatutnya didasarkan pada nilai-nilai kebutuhan instrumen hidup yang terlibat langsung dalam praktik pendidikan, dalam hal ini ialah tenaga didik dan pelajar. Pelibatan stakeholder terkait pendidikan menjadi krusial dalam tata kelola pendidikan dan perintisan kebijakan (Eisenschmidt, Lauri, & Sillave, 2019). Kompleksitas persoalan pendidikan yang telah menjadi lubang permasalahan nantinya dapat diatasi dengan adanya interdependensi dan pertukaran pemikiran akan kebutuhan, bukan kepentingan. Dengan demikian, rekognisi dan evaluasi terkait misorientasi pendidikan menjadi sangat penting ketika progresivitas pendidikan tidak mengalami perkembangan.

Referensi

Allen, J. (1937). Education and Freedom in a Democracy. Bulletin of the American Association of University Professors (1915–1955), 23(7), 558–565.

Bjork, C. (2004). Decentralisation in Education, Institutional Culture and Teacher Autonomy in Indonesia. International Review of Education, 50 (3), 245–262.

Bjork C. (2006) TRANSFERRING AUTHORITY TO LOCAL SCHOOL COMMUNITIES IN INDONESIA: AMBITIOUS PLANS, MIXED RESULTS. In: BJORK C. (eds) Educational Decentralization. Education in the Asia-Pacific Region: Issues, Concerns and Prospects, vol 8. Springer, Dordrecht.

Eisenschmidt, E., Lauri, T., & Sillavee, R. (2019). Educational Policy and Leadership to Improve Democratic Citizenship Education. In Veugelers W. (Ed.), Education for Democratic Intercultural Citizenship (pp. 124–147). LEIDEN; BOSTON: Brill.

Kristiansen, S., & Pratikno. (2006). Decentralising education in Indonesia. International Journal of Educational Development, 26, 513–531.

Laksana, B. K. C. (2020). Ruang-Ruang Kontra-Hegemoni dalam Dunia Pendidikan. https://indoprogress.com/2020/09/ruang-ruang-kontra-hegemoni-dalam-dunia-pendidikan/. Diakses pada 13 Desember 2020.

Pasandaran, S. (2004). Desentralisasi Pendidikan dan Masalah Pemberdayaan Sekolah. JURNAL ILMU PENDIDIKAN, 11 (2), 115–129.

Rosser, A. (2018). (Rep.). Lowy Institute for International Policy.

Singh, K. (2015). Right to Education. India International Centre Quarterly, 42(3/4), 119–130.

--

--

Bias Baihaki
Bias Baihaki

No responses yet